Rabu, 31 Oktober 2012

Tuhan, Tunjukkan Cahaya-Mu

karya:  Hamdi Alfansuri

Baru saja kemarin, sebuah mimpi tak terduga begitu menyentakkan jiwaku. Aku benar-benar tak percaya! Sebuah sugesti atau hanya sekedar halusinasi belaka. Tapi, ia seakan-akan nyata. Rasanya aku mengenali sosok itu. Tapi siapa dia? Aku ragu!

Jumat, 31 Agustus 2012

MENGEJAR KETERTINGGALAN MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER




Oleh : Setiyono

Indonesia pernah dipandang oleh dunia Internasional sebagai guru bagi Malaysia, hal ini terjadi sekitar tahun 1970. Saat itu pendidikan di Indonesia benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat bangsa, sehingga banyak para guru dan ustadz yang diminta untuk mengajar dimalaysia dan juga diminta untuk memberikan pemahaman Islam kepada rakyat Malaysia. Kini prestasi itu sudah tidak disandangkan lagi, karena Malaysia dalam hal pendidikan sudah jauh mengungguli. Faktor utama adalah lemahnya pola pendidikan pembentukan karakter bangsa Indonesia, sehingga pasca reformasi pun bangsa ini masih jua dilanda permasalahan yang sebenarnya itu adalah klasik, yakni permasalahan politik, hukum, ekonomi, dan budaya.
Urgensi dari pembentukan karakter bangsa ini dikarenakan kondisi Indonesia yang cukup terpuruk walaupun secara kuantitas populasi penduduknya jauh lebih besar ketimbang Malaysia, singapura, Thailand, dan Negara-negara maju lainnya dengan jumlah penduduk yang relatif kecil dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu juga kuantitas dan kualitas sumber daya alam Indonesia sangat luar biasa. Memang, Indonesia memiliki begitu banyak orang-orang yang bergelar sarjana dan bahkan doctor, yang dibuktikan dengan ijazah, namun apalah artinya memiliki ijazah tapi tidak memiliki karakter. Karena yang mampu mengangkat martabat bangsa ini dimasa depan bukanlah ijazah, melainkan adalah karakter.
Sedikit bercerita terkait dengan hal yang berhubungan dengan pembentukan karakter ini, ketika saya berselancar di internet, saya menemukan satu foto menarik yang diupload oleh salah seorang ayah yang saya kenal, isi dari foto itu adalah seorang anak laki-laki (anak dari ayah tersebut) yang sedang duduk menghadap perangkat computer dan tepat seperti seorang pemuda ataupun orang tua mengetik. Setelah saya membaca sedikit penjelasan dari pengupload foto, benar memang bahwa anak tersebut sedang mengetik, mengetik untuk berlatih membuat artikel. Sebuah tindakan yang layak untuk diapresiasi, seorang anak dengan tafsiran usia yang belum melewati 15 tahun (karena saya juga mengenalnya) mau berlatih untuk menulis artikel, tentu kita berharab semangat yang demikian dimiliki juga oleh anak-anak lainnya yang tumbuh dan berkembang di negeri tercinta ini. Karena saya yakin, semangat untuk menulis artikel akan berbanding lurus dengan semangat untuk membaca. Hal seperti ini sebenarnya sudah termasuk kedalam salah satu pembentukan karakter, karakter untuk anak bangsa. Selain itu hal yang paling mendasar yakni nilai-nilai keagamaan untuk pengontrolan moral juga harus diselaraskan. Karena, sangat penting kiranya bagi para orang tua dan juga pemuda yang memperhatikan nasib bangsanya dimasa yang akan datang untuk turut serta dalam melakukan pembentukan karakter bagi anak-anak sejak mereka masih berada pada usia yang relatif belum bisa dikatakan sebagai pemuda (Baca ;definisi pemuda menurut UU No 40 tentang kepemudaan). Sehingga apabila pembentukan karakter ini mampu dilakukan oleh orang tua dan para pemuda yang peduli, dan membuat anak-anak tidak tersibukan dengan hal-hal yang bersifat penyelewengan moral seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan hal negatif lainnya. Maka besar kemungkinan bangsa ini akan mampu mengejar ketertinggalan dari Negara-negara lain, karena kondisi generasi hari ini adalah gambaran bangsa dimasa depan.
Banyak para pengamat yang mengatakan bahwa masalah  pendidikan karakter bangsa ini terletak pada kurikulum, saya sependapat dengan hal itu. Karena kurikulum yang ada saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk bergelut dengan banyaknya mata pelajaran yang kurang mengarah kepada pembentukan karakter, contoh jam pelajaran tentang keagamaan yang menjadi ideologi para pengagas perjuangan bangsa ini dan nilai-nilai keIndonesiaan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mata pelajaran yang “tidak mencerminkan pembentukan karakter bangsa”. Padahal bahaya dari suatu bangsa yang tidak memiliki karakter adalah dijajah oleh bangsa lain, dan terbukti saat ini Indonesia telah dijajah oleh kolonialisme dan imperialisme (sytem ekonomi). Mendesak kiranya bangsa ini untuk reformasi kurikulum pendidikan, dengan kurikulum yang mendukung langsung pembentukan karakter, demi terwujudnya Indonesia yang jaya dimasa depan.

Salam Indonesia.
(Mahasiswa Jurusan Planologi, Fakultas Teknik UIR) 
Sumbere: http://setiyonotiyouir08.blogspot.com

Minggu, 29 Juli 2012

Mengungkap rahasia dibalik “Marhaban Ya Ramadhan”



Akhir-akhir ini, istilah “Marhaban Ya Ramadhan” kembali popular seiring hadirnya bulan suci Ramadhan. Kita dapat mudah menemukan istilah tersebut pada poster, spanduk di sepanjang jalan, di setiap gang, di tempat-tempat umum, bahkan kita sendiri yang menyampaikan istilah tersebut.
Marhaban Ya Ramadhan, istilah ini berarti “Selamat datang ya bulan suci Ramadhan”. Awal penggunaan istilah ini dimulai dari negeri arab. Bagi orang-orang arab, menyambut tamu dengan mengucapkan selamat datang adalah sebuah tradisi. Namun, mereka menggunakan istilah “Ahlan Wa Sahlan” yang juga berarti “Selamat datang”.
Nah, mengapa untuk menyambut bulan suci ramadhan orang-orang arab tersebut menggunakan istilah “Marhaban” bukan “Ahlan Wa Sahlan”? Hal ini menjadi sebuah pertanyaan? Ternyata setelah diteliti oleh ahli bahasa, marhaban memiliki makna yang sangat kuat. Kata marhaban hanya digunakan untuk menyambut sesuatu yang sangat istimewa. Ya, contohnya bulan suci ramadhan, bulan umat islam.
 Rasulullah pernah bersabda,
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan bulan umatku.”
Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat dinanti-nanti oleh seluruh umat islam di dunia. Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, dimana pahala segala amal baik perbuatan manusia dilipat gandakan oleh Allah Swt. Jadi, tidak salah jika orang-orang arab saat itu dan kita umat islam saat ini menggunakan kata “Marhaban” dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Namun ingat saudaraku, “Marhaban Ya Ramadhan” bukan hanya istilah yang dapat disampaikan begitu saja. Marhaban Ya Ramadhan, juga harus diiringi dengan sikap dan tingkah laku yang baik. Ramadhan adalah bulan mulia. Tentu menyambutnya juga harus dengan cara yang istimewa. Mari kita bersama-sama bersihkan hati, sucikan diri, sambut bulan suci, raih ridha ilahi.
Salam Aishiteru!
Hamdi Alfansuri, FAM796s Pekanbaru.

Kamis, 19 Juli 2012

Mau jadi penulis?


oleh lana molen

Oke brother. Kali ini kita akan membahas bagaimana semestinya calon-calon penulis dalam mengejar mimpinya menjadi seorang penulis profesional. Penulis yang diakui khalayak sebagai penulis produktif yang punya kualitas. Halah.

Apa yang kupaparkan nantinya bedasarkan kisah nyata atau pengalamanku sendiri selama ini. Mulai dari niat untuk menjadi penulis sejak tahun 2009, proses mengejar cita-cita tersebut, dan hasil sementara hingga saat ini. Ada banyak cerita dan pengalaman yang cukup penting untuk kubagikan pada petitulen sekalian. Ini penting bagi mereka yang sampai sekarang masih saja bercita-cita ingin jadi penulis namun tak ada satu karya pun yang dapat ditelurkan.

Sebenarnya sob, aku adalah tipe orang pengkhayal. Banyak sekali khayalanku hingga kadang berimajinasi tentang sesuatu yang tak masuk akal, seperti menembus lorong waktu ke zaman berabad-abad silam atau berkhayal sebagai seorang detektif bayaran yang dapat menuntaskan apapun, termasuk korupsi (biar dilirik KPK). Pun juga, aku senang bercengkrama dengan masa laluku dengan berkhayal; saat aku dan adik-adikku melalui masa kecil yang keras, pengalamanku di lima pesantren, hingga persoalan 'cinta monyet' yang membelitku. Ya, aku memang terlalu senang berkhayal. Aku, tau kalian juga senang berkhayal kan? Murah dan enak. Hahahaha.
Cukup!

Disini, aku mengajak petitulen untuk kembali ke kebelakang. Lihat, kita ini sudah hidup belasan atau puluhan tahun. Ada banyak ide berupa tema, judul, atau bab yang bisa kita eksplorasi dari pengalaman hidup kita. Tentang masa kecil, remaja, saat sakit hati, jatuh cinta, masuk parit, pertama kali jatuh dari pohon, atau apalah. Pasti banyak sekali potongan mosaik yang mengambang-ngambang di alam pikiran kita. Oh, mungkin ada yang beralasan begini,

"Bang, selama hidup di dunia ini aku cuma makan-tidur sama kentut doang, jadi enggak ada hal menarik yang bisa diceritakan!"
"Wah cerita kamu pasti best seller ni. Karena cuma kamu di dunia ini yang hidup cuma makan-tidur sama kentut doang!"
Jadi, alasan enggak ada ide hanyalah alasan klasik dari sifat malas. Catat!
Oke, aku tau, masalah yang muncul tentang 'ide' adalah, kita punya selera ketika menulis. Tidak semua orang tertarik menulis fiksi! Persis, tidak semua orang juga tertarik menulis non fiksi! Ini sebenarnya yang menjadi masalah bagi penulis pemula. Terlalu milih-milih. Disuruh buat cerpen, "bukan gaya saya, saya suka tulisan yang alamiah."

"Nevermind! Coba tulis makalah?"

"Ah, malas lah!"

Ujung-ujungnya malas juga. Ya, sebenarnya kendala para penulis pemula itu adalah rasa malas yang sangat-sangat-sangat dibesar-besarkan.

Kita ambil hikmah dari ajang Indonesian Idol. Menjadi seorang penulis profesional, aku rasa mirip dengan menjadi seorang penyanyi profesional. Lihat saja, karakter vokal dari beberapa kontestan. Setiap kontestan memiliki karakter vokal dan genre yang berbeda. Sebut saja Dion dengan aliran swing dan si Kribo (aku lupa namanya) dengan karakter vokal nge-rock. Mereka bernyanyi dengan bagus. Namun, coba dengar komentar Anang yang menilai Dion, "Dion, kalau kamu bertahan di swing penonton akan bosan." Lihat siapa yang akhirnya juara. Regina adalah tipe penyanyi yang mampu memukau juri dan penonton bukan hanya karena karakter vokalnya, namun karena ia mampu memberikan warna pada setiap lagu yang ia bawakan. Mungkin kalau disuruh bawain lagu dangdut, pasti dia enggak akan menolak. "Ini tantangan!" katanya.

Begitu pula seharusnya calon penulis. Ia harus mau menulis apa saja. Saya katakan 'mau' bukan 'mampu'. Disuruh buat cerpen, oke! Opini? Enggak masalah! Artikel? Why not? Kalau makalah? Hadoooh! Oke2, aku tau membuat makalah memang membosankan.

Satu saat nanti, setelah kita mencoba berbagai macam tulisan, karakter tulisan kita pasti akan terlihat. Perlu diketahui juga, bahan bacaan sangat memengaruhi tulisan kita. Kalau kamu senang baca novel komedi, dan memang punya selera humor yang tinggi. Tulisan kamu nantinya pasti selalu diselipi humor-humor menggelitik. Saat orang yang membacanya tertawa, disitulah letak kepuasannya. Begitu juga orang yang senang membaca karya sastra klasik. Tulisannya pun akan terbaca berat oleh orang-orang awam. Namun, disaat orang yang mengerti membaca karya kamu dan terpikat, disitulah letak kepuasan yang mungkin hanya kamu sendiri yang merasakannya. Karakter tulisan tak mungkin bisa diciptakan dengan proses menulis yang hanya berlangsung seminggu sekali. Rutinitas menulis yang sifatnya repetisi akan menelurkan karakter tulisan kita secara alami. Minimal satu hari satu tulisan. "Kalau serius jadi penulis ne! Kalau enggak setahun sekali pun enggak apa-apa."

Masalah lain muncul, yaitu waktu. Banyak pemula yang selalu mengeluh karena waktu yang 24 jam begitu singkat buatnya. Alasan tugas, kerja, atau 'enggak sempat' selalu menjadi momok tersendiri. Akhirnya, tidak ada yang bisa dihasilkan kecuali keluhan-keluhan yang semakin lama semakin berlemak di otak. Padahal, baik jin dan manusia, selama masih tinggal di dunia, ya waktunya tetap 24 jam. Sekarang, tergantung komitmen untuk meluangkan beberapa jam waktu untuk mulai menulis. Tak masalah walau hanya satu paragraf. Buat saja, yang penting istiqomah. Sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit. Remember it.

Dulu aku juga mengeluh tentang waktu. Sekarang, kalau ingin mengeluh, ya tetap tentang waktu. Tapi tak ada gunanya mengeluh. Akhirnya, Aku mulai menulis setiap hari di sebuah binder. Pertama kali menulis langsung proyek novel. Di halaman awal kubuat para pemerannya. Anak mudanya tentu aku sendiri. Kalau tidak salah, judulnya, "Ketika Cinta Bersahabat". Saat itu belum ada  komputer apalagi laptop. Bayangkan menulis di atas kertas. Aku begitu hati-hati menulis untuk meminimalisir kesalahan. Setelah berminggu-minggu aku kembali melihat tulisan-tulisanku.

"Busyet! Ini tulisan kok jelek amat! Ceritanya enggak karu-karuan. Kata-katanya campur aduk! Bahasanya lebay!" Dan ntah apalagi kesalahan yang membuat keningku berkerut. Tapi sob, aku menyadari ada perkembangan di tulisan-tulisanku berikutnya. Kurang puas, aku tanya sama temanku, Indah.

"Ia, kelihatan tulisanmu mulai bagus. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya," kata si Indah yang setiap hari selalu membaca perjalanan novelku.
"Waccaauuu! Mantaf gan!" eksperiku kala itu.

Walau akhirnya novel "Ketika Cinta Bersahabat" harus dimusiumkan karena kehabisan ide.

Lalu, aku mulai menulis puisi. Waktu axis masih nyediain 1000 sms gratis, setiap hari puisi-puisiku bakal kukirim send all melalui sms kepada teman-teman. Berikutnya aku menjajal cerpen. Ada banyak cerpen yang kubuat. Tidak berhenti sampai disitu, aku mulai menulis esai untuk mengikuti sebuah kompetisi, menulis opini untuk majalah kampus, artikel islami untuk buletin jumat sampai jenis tulisan jurnalistik, seperti features, stright news dan soft news. Babat habis.
Akhirnya, aku menemukan gaya tulisanku. Entah kenapa genre tulisanku adalah komedi. Aku juga bingung. Tapi, aku merasa enjoy, lepas, dan mengalir ketika menuliskan cerita atau motivasi dalam balutan anekdot yang kadang terkesan lebay. Tapi jangan salah, aku selalu menyelipkan inspirasi dibalik setiap tulisanku, walaupun hanya sebagian orang yang mungkin menyadarinya.

Lalu, karena aku telah yakin bahwa karakter tulisanku bergaya komedi inspirasi. Aku bertekad membuat tulisan selama 100 hari sesuai dengan karakter tulisanku. Dari awal aku memang meniatkan, nantinya tulisanku ini harus terbit. Apapun ceritnya. Alhamdulillah akhirnya tercapai.

Oke, udah panjang kali ni.

Di paragraf terakhir ini aku mau menekankan pada kalian, setiap keinginan, visi, atau cita-cita harus dibalut dengan yang namanya target. Contoh, kalau seseorang ingin menjadi dokter, ia harus masuk jurusan kedokteran, jangan masuk jurusan pertanian. Seseorang mahasiswa kedokteran juga diberi target oleh universitas untuk menyelesaikan pendidikannya. Jika ia tidak mampu menyelesaikan pendidikannya, jangankan jadi dokter, jadi perawat aja enggak bisa. Begitu juga dengan calon penulis, ia harus punya target yang jelas. Misalnya, dalam satu bulan ini aku harus menghasilkan 5 cerpen. Dua bulan ini, tiga bulan ini, atau empat bulan ini aku harus ngapain. Ketika target-target jangka pendek tadi dapat terpenuhi, bersyukurlah dan berbahagialah, karena anda telah meraih mimpi-mimpi kecil anda.
Yakinlah, mereka yang dapat meraih mimpi di langit sana pasti melalui raihan mimpi-mimpi kecil yang mereka gantung di langit-langit kamarnya.

Keep fighting! Trust me, it’s work!

mau jadi penulis?? gabung yuk di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia , caranya buka link ini http://famindonesia.blogspot.com/2012/07/panduan-dan-formulir-pendaftaran.html


Senin, 02 April 2012

pola unik bilangan atau angka indonesia


Ternyata angka atau bilangan dengan menggunakan bahasa Indonesia memiliki struktur atau pola yang unik dan mungkin tidak akan ditemukan di bangsa lain. Hanya di Indonesia.

Setiap bangsa, negara dan daerah pasti memiliki penyebutan sendiri untuk angka-angka dari satu, dua sampai dengan sepuluh. Misalnya angka tiga kita menyebutnya di Indonesia tapi di negara lain ada yang menyebutnya tri, three, san, tolu dan lain sebagainya.

Bahkan bila ada yang masih ingat angka-angka tersebut dalam bahasa daerah teman-teman masing-masing dari satu sampai sepuluh maka kadang ada angka yang penyebutannya sama dan ada pula yang berbeda dengan Bahasa Indonesia. Mungkin tergantung dari enaknya di lidah atau di telinga.

Langsung saja. Di sini saya bukan mengajarkan Anda berhitung tapi coba perhatikan deretan angka-angka di bawah ini.

1 = Satu
2 = Dua
3 = Tiga
4 = Empat
5 = Lima
6 = Enam
7 = Tujuh
8 = Delapan
9 = Sembilan
Ternyata setiap bilangan mempunyai saudara ditandai dengan huruf awal yang sama. Bila kedua saudara ini dijumlahkan angkanya, maka hasilnya pasti sepuluh. Contohnya Satu dan Sembilan. Mempunyai huruf awal yaitu S dan bila djiumlahkan satu dan sembilan hasilnya adalah sepuluh.

Begitu juga dengan Dua dan Delapan, Tiga dan Tujuh kemudian Empat dan Enam. Terurut sampai dengan angka Lima. Lima dijumlah dengan dirinya sendiri juga hasilnya sepuluh.

Tidak sampai di situ, ternyata huruf awalnya juga punya peranan penting terbentuknya bilangan itu. Misalnya Satu dan Sembilan sama-sama huruf awalnya adalah S yang secara kebetulan berada pada urutan 19 dalam alpabet. Bila angka satu dan sembilan dijumlahkan kemudian dibagi dua untuk mencari rata-ratanya maka hasilnya adalah 5. Bentuk angka 5 sangat identik dengan huruf S. Yang pernah membaca Matematika Alam Semesta, perlu ditambahkan bahwa 19 adalah angka TUHAN.

Kemudian Dua dan Delapan. Huruf awalnya adalah D yang urutan keempat. Bila delapan dibagi dua maka hasilnya adalah empat (pembenaran).

Selanjutnya Empat dan Enam. Huruf awalnya adalah E yang urutan kelima. Lima berada diantara Empat dan Enam (pembenaran lagi).

Sedangkan angka Lima huruf awalnya adalah L. Dimana L digunakan untuk simbol angka lima puluh dalam perhitungan Romawi (pembenaran yang masih nyambung).

Lalu bagaimana dengan Tiga dan Tujuh? Ternyata susah cari pembenarannya. Ditambah, dikurang, dibagi dan dikali ternyata belum juga ketemu. Tiga dikali tujuh hasilnya 21, kurang satu angka dengan huruf T yang urutan ke 20. Tapi simbol V digunakan untuk menunjukkan angka tujuh dalam perhitungan Arabic. Dan V diurutan ke-22.

Ternyata, tidak pakai matematika. Cukup ditulis saja di kertas kosong kemudian pasti bisa ketemu hubungannya. Coba tulis huruf T kecil (t) di sebuah kertas. Kemudian putar kertasnya 180 derajat maka kamu bisa lihat angka tujuh dengan jelas. Lalu bagaimana dengan angka tiga? Juga sama. Tulis huruf T besar di kertas pakai font Times New Roman kemudian putar 90 derajat ke kanan searah jarum jam. Tada…. Kamu pasti bisa lihat angka tiga dengan jelas. Tapi sedikit mancung. (pembenaran yang juga dipaksakan sekali).

Pola unik ini mungkin hanya bisa ditemukan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan di Malaysia yang juga memakai bahasa yang sama? Ternyata di Malaysia angka 8 tidak disebut sebagai Delapan tapi Lapan. Jadi pola ini hanya milik Indonesia. Jangan sampai diklaim juga sama mereka.